Sedikit mengutip lirik lagu Hindia berjudul Secukupnya, yang mungkin sudah cukup familiar di telinga akhir-akhir ini,
“Kapan terakhir kali kamu membaca majalah?”
You sing, you lose.
Majalah mungkin bukan lagi jadi media massa pilihan di tengah gempuran informasi dari media sosial yang berdatangan dalam hitungan detik. Jika dulu mungkin kalian bisa menemukan Majalah Femina atau Kartini tergeletak di ruang tengah karena Ibu berlangganan, kini Ibu sedang sibuk berkutat dengan laman Facebook-nya di pojok kamar.
Waktu memang bergulir, tren pun berganti. Tapi, lewat tulisan ini, mari kita menilik beberapa majalah yang direkomendasikan oleh prajurit-prajurit Simpul Group. Kalau sudah jenuh dengan layar smartphone atau screen time melonjak tinggi di tengah masa social distancing imbas dari penyebaran Covid-19, majalah-majalah ini bisa menjadi alternatif.
1. JO - Design Anthology, Hong Kong
“Pada dasarnya gue fascinated dengan desain,” katanya.
Ketertarikan pada desainer khususnya interior dan grafis memang sudah tumbuh sejak lama. Namun, sebagai orang awam yang tidak memiliki latar belakang pendidikan berlabel desain, “I’ll take anything I can get,” tambahnya. Bertemu dengan Design Anthology seolah menjadi perjodohan yang sudah digariskan Tuhan.
Rasa keingintahuan tersebut terjawab lewat penulisan yang dilakukan majalah ini. Karya-karya yang ditampilkan tidak hanya tersampaikan dengan baik lewat visual yang memikat, tapi juga rangkaian diksi yang dipilih sebagai medium narasi. Salah satu rubrik yang dinanti adalah dialog dengan para desainer. Lewat rubrik tersebut, kita seolah diajak berkelana hingga ke “dapur” kreatif para desainer.
Beruntungnya, keingintahuan dan ketertarikan membaca Design Anthology terfasilitasi oleh sebuah coffee shop di dekat rumahnya yang memberikan akses membaca secara penuh dan gratis. Meski kini kegiatan tersebut tertahan akibat anjuran #dirumahaja, tulisan-tulisan tersebut dapat diakses di https://designanthologymag.com/.
“Recommended buat yang suka baca dan punya ketertarikan pada desain. Selain itu, membaca majalah ini juga menambah vocabulary kata baik dalam Bahasa Inggris maupun dialog desain yang mungkin selama ini terasa asing,” tutupnya.
2. TH - GoGirl! & Gadis, Indonesia
“Baca majalah itu sembari nostalgia,” ujarnya.
Meski GoGirl! sendiri sudah berhenti menerbitkan edisi cetaknya sejak 2018 silam dan Gadis Magz hanya merilis edisi tahunannya, kedua majalah ini memang lekat dengan keseharian remaja di Indonesia beberapa tahun silam, saat media cetak sedang berada di titik kejayaannya.
Beberapa waktu terakhir, kedua majalah ini digunakan sebagai sumber referensi karena pada masanya baik GoGirl! dan Gadis Magz hadir dengan desain menarik penuh warna-warni dan bonus menggugah hati. “Baca majalah itu seolah diajak ngobrol dengan orang lain, santai, tapi memberikan insight,” tambahnya.
Ada beberapa rubrik yang menjadi favoritnya seperti rubrik cerita horor di Gadis Magz dan kolom cerpen di Gogirl!. Bagi kalian yang turut merasakan sensasi nostalgia, ulasan Gadis masih dapat diakses di https://www.gadis.co.id/. Atau mungkin sudah saatnya mengulik kembali tumpukan buku lama di sudut gudang? Siapa tahu majalah-majalah kesayangan pada masa lalu bisa menjadi pintu ide segar di hari ini, ‘kan?
3. FC - Rolling Stone & Kartini, Indonesia
“Enggak dibaca setiap hari, tapi kalau lagi bosan, baca majalah lama itu menyenangkan,” ceritanya.
Dulunya dua majalah ini menjadi referensi dan acuan untuk masing-masing bidangnya. Penggemar musik mana yang tidak mendewakan Rolling Stone, sementara perempuan yang sedang beranjak dewasa pun menjadikan Kartini sumber referensi utamanya.
Jika kamu termasuk orang yang berlangganan salah satu dari majalah ini di masa lampau, masih ingatkah kamu rubrik mana yang menjadi daya tarik utama kala itu? Apakah karena informasi yang disajikan atau sosok di balik tulisan tersebut yang mengawali ketertarikan pada rubrik tertentu?
Membaca dan mengulas kembali majalah lama yang tersimpan rapi di sudut kamar bisa jadi sarana relaksasi pikiran di tengah derasnya arus informasi saat ini. “Beberapa edisi lama menimbulkan rasa ingin membaca lagi dan lagi, informasinya juga lebih mendetail, dan kita bisa menentukan kapan mau membacanya tanpa tergesa,” paparnya.
4. Yours truly - The Economist, Inggris
“Isu ekonomi terkadang membebani bagi sebagian orang yang merasa tidak punya ketertarikan pada topik ini. Tapi, membaca berita ekonomi akan membuka pintu pada banyak pemahaman akan beragam informasi lain di luar sana.”
The Economist sama tenarnya seperti Bloomberg di dunia ekonomi tanah air. Referensi utama, sumber informasi valid, dan pintu informasi terkini. Meski kocek harus dirogoh lebih dalam karena majalah ini dibanderol Rp110.000 oleh jaringan toko buku Kinokuniya, rasa keingintahuan dan kebutuhan tersebut tidak bisa menahan keinginan membawa edisi terkini The Economist pulang ke rumah.
Majalah atau yang sebenarnya koran mingguan dengan format majalah ini bisa membahas tentang media sosial hingga isu kemanusiaan seperti penyebaran Covid-19 dengan tetap memegang jangkar pada hubungannya dengan sektor ekonomi. Pembahasannya menggunakan dialog yang mudah dipahami dan pendekatan narasi yang riil dengan fakta di lapangan membuka mata kita akan tiap topik yang diangkat dan relevansinya terhadap hal-hal lain di kehidupan bermasyarakat.
Salah satu rubrik yang akan selalu saya buka pertama kali adalah The World This Week, dalam satu halaman spread terbentang rangkuman penting apa-apa saja yang terjadi di seluruh dunia dalam sepekan terakhir. Kadang akibat informasi yang diatur oleh algoritma media sosial, kita lupa, seolah dunia hanya berputar di sekitar kita. Di belahan dunia yang lain banyak yang terlewat dari sudut pandang mata ini dan sebenarnya apa yang mungkin terlewat bisa memberi pengaruh pada hari yang sedang kita jalani.
“Jadi, apa ada rencana untuk membaca majalah dalam waktu dekat?” - ND
Comments