Siapa yang memiliki lebih dari satu akun media sosial dari berbagai platform?
Mungkin hampir bisa dipastikan, sebagian besar kalian yang membaca pertanyaan di atas akan menjawab “Saya”. Termasuk saya di dalamnya. Siapa yang tahan godaan untuk tidak ikutan sharing Instagram Stories atau bersantai sembari membaca thread di Twitter?
Faktanya juga begitu, beberapa waktu lalu, saya membaca laporan yang dirilis oleh We Are Social dan Hootsuite pada Januari 2019, pengguna media sosial aktif di Indonesia mencapai 150 juta atau jika dihitung dari persentase penetrasi media sosial secara keseluruhan terhadap total populasi sekitar 268,2 juta maka mencapai 56%.(1)
Kita memang tidak asing dengan Facebook, Twitter, Instagram, Snapchat, atau yang sedang hangat-hangatnya, TikTok. Sebagai bagian dari masyarakat yang aktif berinteraksi di media sosial satu yang terlihat jelas, kala “demam” sebuah aplikasi media sosial sedang ramai dan menjangkit, maka bisa dipastikan kita, di Indonesia, akan ikut berbondong-bondong menjajal fitur-fitur di aplikasi tersebut.
Setelahnya tanpa disadari kita sudah ikut absen dan membuat akun di media sosial tersebut. Bahkan tak jarang, sebagian orang memilih untuk memiliki lebih dari satu akun pada satu media sosial yang sama. Salah satu yang jamak terjadi di Instagram. Si A bisa punya akun untuk keluarga, akun untuk sharing video TikTok, dan akun online shop miliknya. Pun, Instagram memudahkan hal itu beberapa tahun lalu dengan memberikan akses bagi pengguna untuk meng-handle maksimum 5 akun dari 1 smartphone yang sama.
Saya pernah iseng-iseng membuka pertanyaan bagi teman-teman follower saya di Instagram. Mempertanyakan apa alasan mereka memilih punya akun Instagram lebih dari satu? Jawaban yang saya terima sangat beragam. Mulai dari pemisahan akun pribadi dengan akun usaha (online shop), “membersihkan” halaman dari orang/informasi yang tidak diinginkan, pemisahan lingkar pertemanan A dan B, hingga biar stalking lebih aman.
Pada akhirnya ini menyisakan satu pertanyaan yang, rasanya masih menggantung buat saya hingga hari ini. Kenapa kita merasa perlu memiliki anonimitas? Jika kita merasa media sosial sudah merenggut privacy dan menghilangkan batas-batas tersebut dalam kehidupan bersosial di masyarakat, lalu kenapa kita memutuskan bergabung pada media sosial tersebut?
Bukankah dengan membuat akun, memberikan data diri, menyerahkan akses dan lokasi pada platform yang ada maka secara bersamaan kita sudah menyerahkan sebagian privacy tersebut pada publik?
Tentu, sebagian akan menjawab dengan lantang, “Media sosial adalah modal berjejaring dan update perihal kehidupan.” Tidak heran kemudian media sosial memang menimbulkan istilah baru yang sekarang sedang gemar dibahas: FOMO (fear of missing out).(2) Besarnya pusaran daya tarik media sosial membuat kita rela menyerahkan porsi privacy tersebut dengan ikut berbagi kegiatan sehari-hari di laman media sosial.
Kemudian seiring berjalannya waktu, kegiatan berbagi menjadi sebuah rutinitas. Rasanya ada yang kurang jika belum mengambil foto/video hal yang menarik hati dan hendak dibagikan kepada teman-teman. Keterikatan pada media sosial pun semakin tinggi, efeknya kita semakin sulit membedakan mana yang menjadi keinginan hati sendiri dengan keinginan untuk menjadi “serupa” atau bahkan “berbeda” dari lingkar pertemanan di laman virtual.
Imbasnya, kecemasan atau yang dikenal anxiety pun merebak. Orang dengan mudahnya memberikan judgement pada kehidupan orang lain, menebaknya seolah itu kertas putih transparan yang bisa dengan mudah memberikan kita akses untuk melihat sisi lain di balik tampilan media sosial. Sebagian orang gagal membentengi dirinya dengan kenyataan hidup yang tak seindah filter di Instagram.
Fakta ini tidak bisa diremehkan. Suatu waktu, saya sempat membaca data yang dirilis oleh Royal Society for Public Health dan Young Health Movement pada Mei 2017 lalu yang memaparkan bahwa kecemasan kerap meningkat ketika seorang pengguna media sosial aktif melihat teman-temannya secara terus menerus sedang menikmati liburan atau pergi ke luar rumah dan efeknya pengguna tersebut akan merasa tertinggal dari orang lain yang sedang menikmati hidup tersebut.(3)
Laporan tersebut juga menyampaikan 1 dari 6 anak muda akan mengalami anxiety dan angka mereka yang terserang anxiety meningkat 70% dalam 25 tahun terakhir.(4) Efeknya beberapa dari kita memilih untuk membatasi diri dan konsumsi media sosialnya. Anonimitas adalah salah satu dari sekian banyak cara yang sering dilakukan.
Dengan menjadi anonim, sang pengguna akan menyaring lingkar pertemanannya di media sosial. Selain itu, ia merasa memiliki otonomi untuk memilah apa yang hendak ia konsumsi. Padahal pada nyatanya, memiliki akun anonim di satu sisi memberikan celah pada seseorang untuk merasa aman menjelajah ragam akun di platform tersebut. Tanpa disadari, exposure terhadap informasi menjadi lebih luas. Algoritma media sosial menyuplai ragam informasi tersebut dan meninggalkan kita pada kecemasan jenis lain.
Sebagian memilih anonim karena merasa lelah dengan “kekangan” dan “batasan” yang hadir dalam lingkungan pertemanannya secara umum. Tidak usah jauh-jauh, adik saya yang paling kecil memiliki akun lain dengan followers kurang dari 50 orang. Ketika saya tanya untuk apa punya second account, dia dengan santainya menjawab, “Ya buat temen-temen yang deket banget aja dan mereka yang follow akun yang ini juga follow-nya pakai second account. Jadi, semuanya bisa “nyampah” sepuasnya, share apa aja yang enggak penting, enggak perlu pusing mikirin orang lain yang lihat.”
Dari situ saya mendapat esensi, ada batas-batas yang hendak ditebas. Ada penilaian yang hendak diraih dan ada privacy yang ingin dijaga hanya untuk mereka yang masuk dalam lingkar terdekat. Anonim jawabannya, setidaknya buat adik saya. Kenapa saya sebut anonim karena jelas ia tidak membawa identitas pribadinya di akun tersebut. Begitupun teman-temannya yang lain. Namun sayang, tak semua akun anonim sesederhana apa yang dilakukan oleh adik saya.
Dari sisi yang lebih negatif, sebagian orang yang semoga bukan kita, menjadikan akun kedua, ketiga, dan seterusnya untuk tujuan yang lebih buruk. Menyebarkan informasi yang tidak akurat, stalking mantan pacar, hingga melakukan penipuan. Semua ini bermula dari mudahnya membuat akun baru, minimnya batasan bagi siapa saja untuk memiliki lebih dari satu akun di media sosial, dan lazimnya anonimitas di ranah media sosial.
Media sosial dan ranah virtual menjadi tempat yang ramai sesak layaknya pasar. Semua berlomba mencari perhatian dan mendapat tempat. Pun masih dengan analogi berbelanja di pasar, kita sebagai pengguna media sosial tak lagi bisa percaya pada siapapun kecuali “tukang jualan” langganan yang sudah terverifikasi keabsahannya atau langsung mencari tahu seorang diri lewat perbandingan sana sini dan observasi.
Anonimitas tak serta-merta menyelamatkan kita dari “bahaya” yang mengintai dari media sosial. Bahaya yang perlu disadari tak hanya datang dari anxiety tapi juga keamanan data diri hingga penipuan dan pemalsuan banyak hal. Risiko yang jelas nyata di depan mata namun tak juga membuat kita gentar terjun langsung ke pasar media sosial.
Satu yang menggelitik, anonimitas tak lantas menjadikan kita aman. Menjadi anonim tidak membuat kita kasat mata seperti kain tembus pandang milik Doraemon. Pun apabila kita berhasil anonim dan kasat mata bagi lingkar pertemanan yang kita hindari, dengan bergabung dan berbagi di media sosial kita sudah kembali menjadi informasi yang dapat “diakses” oleh pengguna lingkar lain.
Coba pikirkan kembali, dengan menggunakan akun anonim dan tetap hidup di pasar media sosial, tetap ada data diri yang harus kita lampirkan ketika hendak bergabung. Tetap ada yang akan kita bagikan di laman tersebut untuk menjadi “serupa” atau “berbeda” dari lingkar pertemanan lapis kedua atau ketiga tersebut. Dan tetap ada terms and condition yang kita sepakati di awal bergabung, yang artinya kita memberikan jalan bagi algoritma media sosial untuk nantinya mendefinisikan apa yang layak kita konsumsi.
Pada akhirnya, kita tak lagi sebegitu anonim sebagaimana yang kita harapkan. - ND
(1) We Are Social & Hootsuite, ‘Digital 2019 Indonesia’, Datareportal <https://datareportal.com/reports/digital-2019-ecommerce-in-indonesia> [27 Januari 2020].
(2) Michael Dirda, ‘Oxford Dictionaries adds ‘twerk,’ ‘FOMO,’ ‘selfie,’ and other words that make me vom’, The Washington Post <https://www.washingtonpost.com/lifestyle/style/oxford-dictionaries-adds-twerk-fomo-selfie-and-other-words-that-make-me-vom/2013/08/28/678ddd48-102c-11e3-8cdd-bcdc09410972_story.html> [27 Januari 2020].
(3)(4) Royal Society for Public Health dan Young Health Movement, ‘#StatusofMind Social Media and Young People’s Mental Health and Wellbeing’, RSPH <https://www.rsph.org.uk/our-work/campaigns/status-of-mind.html> [27 Januari 2020].
Comments