Ketika menerima naskah dari Ruby dan ditugaskan menjadi editor utama, hal pertama yang terlintas di kepala adalah, “Fellexandro Ruby ini siapa?” Namanya hanya pernah terdengar sekali saja, itu pun samar-samar. Setelah googling lebih lanjut, barulah terungkap bahwa Ruby ini ternyata terkenal di Instagram. Maklum, terakhir kali cek, daily average time saya di Instagram itu cuma 1 menit.
“Kan ada juga tuh podcast-nya Thirty Days of Lunch.”
Pernah dengar juga sih nama podcast itu. Tapi enggak pernah dengerin. Saya cukup jarang dengerin podcast. Sekalinya dengerin juga topik lain yang cukup niche. Jadi, enggak heran kalau podcast-nya jarang lewat di bagian rekomendasi Spotify. Enggak lewat di radar saya. Tapi akhirnya tetap dijabanin supaya lebih kenal dengan sosok Fellexandro Ruby.
Usai mendengarkan salah satu episode podcast-nya, saya langsung membaca 2 bab pertama naskahnya sambil kepoin media sosial beliau supaya paham apa yang ingin disampaikan Ruby lewat buku yang kemudian diberi judul You Do You: Discovering Life through Experiments & Self-Awareness. Lo and behold, I’m sold. Bahkan ketika membaca sisa naskahnya pun terasa santai dan seru namun bermakna.
Bisa dibilang Ruby berhasil mencapai tujuannya melalui buku ini. Terlihat jelas dalam penyampaiannya yang enggak menggurui, tapi malah kita seakan-akan dibimbing dan dinasihati oleh teman sendiri berkat adanya flair of personality yang kuat di dalam tulisannya. Aneh rasanya. Belum pernah berjumpa ataupun ngobrol bareng, mungkin sekalinya pernah ngobrol langsung juga saat di meeting awal proses buku ini dimulai, tapi rasanya sudah familier banget dengan isi kepalanya.
Oh iya, supaya konteksnya lebih lengkap, ini bukan cuma buku pertama yang ditulis oleh Ruby, tapi juga buku pertama yang ditugaskan ke saya sebagai editor utama.
Proses menyuntingnya sendiri cukup menyenangkan, apalagi saya yang baru pertama kali jadi editor utama untuk sebuah buku yang tebalnya lumayan bikin hilang kesadaran kalau dipakai untuk menampar orang. Ketika tulisan yang diramu dengan ritme dan alur yang asyik, maka proses menyuntingnya pun akan jauh lebih seru.
Yang menariknya adalah ketika dalam proses editing, tidak banyak pilihan diksi atau susunan kalimat yang diubah. Sebagian besar pekerjaan saya lebih kepada melakukan penyesuaian pada banyaknya kata berbahasa Inggris yang digunakan. Kata-kata tersebut sengaja diganti dengan padanan kata yang lebih tepat dalam bahasa Indonesia karena pada akhirnya ini adalah buku berbahasa Indonesia. Kenapa harus pakai istilah bahasa Inggris sana-sini kalau sebenarnya tidak perlu, kan? Yang ada pembacanya malah jadi pusing karena banyak yang dicetak miring. Dengan kata lain, kemampuan menulis Ruby layak diacungkan jempol, setidaknya menurut saya.
Tapi, yang namanya menyunting tentu tidak bisa selesai dalam waktu yang singkat dan dalam sekali baca. Selalu diusahakan untuk dibaca ulang terus agar tidak ada yang terlewat. Namun apa daya, energi sudah semakin menipis, konsentrasi yang tersisa hanya remah-remah. Meski dipaksakan sekali pun, hasilnya juga enggak akan maksimal. Keesokan harinya dibaca lagi secara keseluruhan dengan jiwa dan raga yang lebih segar. Langsung nemu bagian-bagian yang terlewat, seperti menyabut uban, satu per satu dan berulang kali agar benar tuntas.
Tidak berhenti sampai di situ. Proses editing berlanjut ketika teks dari naskah sudah dimasukkan ke dalam layout buku. Pada proses itu, kita harus memastikan bahwa penomoran halaman sudah sesuai dengan daftar isi, tidak ada widowed word atau widowed sentence, kata-kata yang dicetak miring sudah tepat, dan masih banyak lainnya. Bagian ini terasa lebih chaos dibandingkan proses lainnya karena terus-menerus tektokan dengan tim visual sambil memastikan isi buku sudah rapi. Sekalinya sudah rampung semuanya dan sudah siap untuk naik cetak, rasanya seperti buang air kecil setelah menonton film yang durasinya hampir 3 jam di bioskop. Lega.
Kemudian ketika masa pre-order dibuka, 1.000 stok buku yang disiapkan habis tak bersisa dalam waktu yang singkat. Bahkan ketika stok buku untuk pre-order sudah ditambahkan, enggak butuh waktu yang lama untuk nunggu sampai stoknya habis lagi. Di sinilah saya mulai menyadari apa yang dikatakan Ruby di bukunya bahwa net worth itu tidak melulu soal uang, tapi juga soal influence. Stok buku itu tidak akan ludes secepat itu kalau Ruby tidak punya influence.
Perjalanan dari awal hingga menuju terbitnya buku You Do You ini seperti naik roller coaster. Kadang hectic banget sampai kekurangan istirahat, kadang exciting banget. Intinya, sangat rewarding, terutama saat melihat nama sendiri terpampang dan diabadikan di credit page.
Mengutip ucapan Ruby, buku You Do You: Discovering Life through Experiments & Self-Awareness ini adalah sebuah labor of love, hasil jerih payah dan kerja sama semua pihak yang terlibat. Saat tulisan ini disiapkan, buku ini masih belum terbit di toko buku, tapi segera, lebih tepatnya di tanggal 23 Desember 2020 nanti dalam bentuk fisik maupun digital.
Go get yourself a copy and you’ll thank us later for doing so. Take it from someone who has read it so many times that it is almost engraved into my head. -HL
Comments